Senin, 12 Agustus 2019

Surga yang Terlewatkan


Birrul Walidain atau berbakti kepada orang tua adalah hal mutlak yang harus kita lakukan setiap hari. Hari ini, 22 Desember, secara nasional diperingati sebagai Hari Ibu. Sejarah hari Ibu diawali dengan pertemuan para pejuang wanita yang mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada  tanggal 22 sampai 25 Desember 1928 di gedung Daalem Jayadipuran Yogyakarta, yang dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Organisasi perempuan di Indonesia telah ada sejak tahun 1912, terinspirasi dari pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia di abad ke-19 seperti Kartini, Marta Cristina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said dan lain sebagainya. Hingga penetapan 22 Desember sebagai perayaan hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Presiden Soekarno kemudian menetapkan melalui dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.

Sebenarnya, tanggal 22 Desember ini ditetapkan sebagai Hari Ibu untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara .dan  untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi itulah yang tercermin  menjadi semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Namun, arti hari Ibu telah banyak berubah di Indonesia, biasanya perayaan  hari Ibu dilakukan dengan membebas tugaskan ibu dari tugas domestic sehari-harinya. Atau memberikan hadiah dan bunga sebagai ungkapan terima kasih atas perjuangnnya selama ini.
*
Setiap anak pernah meminjam rahim seorang Ibu, kasih Ibu tidak akan ada batasnya. Tidak akan pernah ada habisnya sampai kapanpun. Terkadang, seorang Ibu terlalu sibuk menyenangkan anak-anaknya sehingga ia melupakan dirinya sendiri. Benar yang dikatakan M. Qurais Shihab bahwa apa yang dipersembahkan anak kepada Ibuya tiada artinya setelah perut Ibu menjadi tempat tumbuh anak.

Kita tentu ingat dengan kisah Ibunda Hajar (istri Nabi Ibrahim a.s).yang hanya seorang diri di tengah-tengah padang pasir dengan bayinya, Ismail. Ibrahim meninggalkan mereka di Baitul Atik yang tinggal puing-puing bertimbun pasir atas perintah dan ujian dari Allah.  Persediaan air habis, mereka kehausan, air susunya habis. Demi anaknya, dengan cepat ia berlari ke bukit Safa. Semakin jauh berlari, dalam pandangannya, bukit itu terlihat penuh dengan rerimbunan pepohonan. Sesampainya di Safa, matanya menyapu sekeliling bukit. Ia mencari sumber air yang ada di kejauhan. Namun, semua itu tidak ada. Kemudian, ia kembali berlari dengan cepat dan penuh harap  menuruni bukit yang lain dalam lesatan kaki berlari. Nama bukit itu adalah Marwa. Demikian seterusnya hingga genap tujuh kali ibunda kita di antara bentangan dua kaki bukit Safa dan Marwa degan terus berlari dengan hati yang dipenuhi doa, tangis dan merintih dengan kelembutan hati seorang Ibu. Dan Allah telah mengujinya dengan kesendirian, perjuangannya telah menjadi mahkota ujian suci ini yang pada akhirnya dijawab dengan air Zamzam yang terkumpul untuknya. Zamzam adalah air cinta, perjuangan, dan kemaksuman seorang Ibu. 
*
M. Quraish Shihab juga mengatakan “Sungguh wajar kitab suci menggandengkan perintah patuh kepada Allah dengan perintah bakti—sekali  lagi bakti, bukan sekadar patuh—kepada orangtua. Sungguh tepat ketika Nabi Muhammad saw. menyebut Ibu, lalu Ibu, lalu Ibu baru kemudian Ayah. Sungguh bermakna ungkapan yang dinisbahkan kepada Nabi saw.: “Surga di bawah telapak kaki Ibu.”

Selama ini, kita terlalu sibuk mencari surga yang jauh, tapi surga yang dekat terlewatkan. Ahmad Al Habsy berujar, "Syurga di rumah itu adalah orangtua kita, selama ini kita sibuk membahagiakan dan memuliakan orang lain, sementara kepada orangtua kita cuek, bicara sekadarnya saja. Bahkan kita sering lupa untuk memeluknya, menciumnya dan menyapanya setiap hari, padahal untuk mencari syurga tak perlu jauh-jauh, dia ada di depan mata kita."

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa “Doa orangtua untuk anaknya laksana doa  Nabi untuk umatnya.” Pun, Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya  Anak Semua Bangsa menuturkan bahwa, “Sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari Ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada Ibunya.” Semoga 22 Desember ini kembali meyadarkan kita bahwa Hari Ibu tidak hanya jatuh pada hari ini saja. Namun jatuh pada semua hari dan setiap detiknya adalah hari Ibu. Semoga !
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar