Jumat, 12 Februari 2016

Kepastian Cinta


Cinta bukanlah kata yang hanya sekedar kata, cinta laksana laut yang tidak pernah kehabisan air di dalamnya. Berbagai pengalaman fisik, mistik, dan khayalan bisa hadir kerena cinta yang terkadang membuat waktu menjadi berdetak kencang dan berdetak begitu pelan.

Bahasan tentang cinta tidak akan pernah kering di tegah-tengah khalayak manusia, ibarat sungai yang airnya tidak pernah berhenti mengarus. Seperti dalam film A Beautiful Mind yang diperankan oleh Russel Crowe sebagai John Nash-metamatikawan peraih Hadiah Nobel dalam bidang Ekonomi pada 1994-“Penemuan paling penting dalam hidupnya hanya ada dalam kemisteriusan perasaan cinta, sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.” 

Pengalaman cinta tidak dapat dipisahkan dengan kasih sayang. Hari ini, 14 Februari, diperingati sebuah hari Valentine. Di dunia Barat, ini menjadi  hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya.  Begitu pun di Indonesia, Valentine diperingati dengan saling bertukar kado, coklat, surat, dan hal-hal yang bernuansa merah jambu, berbagi kasih dengan orang tua, mengunjungi panti asuhan, pun berbagai media marak mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan Valentine.

Namun yang miris dan terkadang  membuat kedua kening kita mengerut, hari Valentine diartikan  ajang untuk melakukan perbuatan-perbuatan amoral dan jauh dari temanya itu sendiri. Sehingga, banyak yang khawatir ini akan merusak moral penduduk Indonesia.

Tahun lalu, muslimah Hizbut Tahrir Indonesia di Makassar melakukan unjuk rasa sebagai bentuk penolakan terhadap peringatan hari Valentine. Mereka mengimbau generasi muda untuk tidak ikut-ikutan memperingati hari Valentine.

Zurniawati dari Bidang Pemberdayaan Perempuan KAMMI Wilayah Jawa Barat mengungkapkan, perayaan hari Valentine mulai marak di kalangan masyarakat Indonesia sekitar akhir 1980-an, berbarengan dengan munculnya televisi-televisi swasta yang banyak mengupas dan menayangkan berita ataupun film-film yang bertemakan perayaan tersebut.
***
Sebenarnya ada berbagai versi yang terkuak perihal Valentine, tapi sajarahnya sendiri belum memiliki kejelasan yang pasti. Bahkan, hingga hari ini, keberadaan hari Valentine masih  diperbincangkan keabsahannya.

Dalam  buku The World Book Encyclopedia (1998), disebutkan ada beberapa sumber mengatakan Valentine’s Day ini merupakan warisan dari upacara perayaan orang-orang Romawi Kuno yang disebut dengan Lupercalia. Lalu, para ahli lainnya mengaitkan kejadian ini dengan kisah terbunuhnya beberapa Saint (Santo) yang terjadi di gereja Kristen. Masih dari sumber yang lain, konon, kejadian ini erat kaitannya dengan kepercayaan orang-orang Inggris Kuno bahwa pada tanggal 14 Februari-lah burung-burung jantan memilih pasangnnya. Valentine’s Day ini besar kemungkinan berasal dari  penggabungan ketiga sumber di atas ditambah dengan kepercayaan bahwa musim semi adalah waktu yang tepat untuk para “pejatuh cinta”.

Saya kembali teringat akan tulisan Cinta Titanic dalam buku Kisah Tak Berwajah (2009)  yang ditulis oleh Ahyar Anwar bahwa, “Tidakkah kita melihat para pemuda setiap tanggal 14 Februari berbondong-bondong menuju pesta-pesta yang penuh cahaya dan bergerak ke ruang-ruang pesta yang remang untuk menghambur hasrat dengan tenang, mereka merayakan cinta dengan kehidupan.”
Saya tiba-tiba merasakan kecemasan membaca tulisan Ahyar, yang miris melihat kondisi masyarakat Indonesia yang cepat atau lambat akan tertarik ke arus yang mencekam.

Di Jepang, hari Valentine muncul karena marketing besar-besaran, sebagai hari di mana para wanita memberi para pria yang mereka senangi permen cokelat. Namun hal ini tidaklah dilakukan secara sukarela melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Cokelat ini disebut sebagai Giri-choko, dari kata giri (kewajiban) dan choco (cokelat).     
***
Setidaknya, Valentine telah menyadarkan kita bahwa hari kasih sayang itu hendaknya  dirayakan setiap hari. Hari kasih sayang itu tidak hanya tanggal 14 Februari, tapi juga setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Entah kasih kepada Tuhan, keluarga, masyarakat, pun diri sendiri. 
Masih kata Ahyar dalam bukunya,  Kisah Tak Berwajah, “Cinta tak layak dirayakan dengan sebuah pesta. Seperti juga kehidupan, tak butuh banyak tanda untuk menghadirkan kematian, tepat di depan wajah kita. Pesta seperti juga kehidupan, adalah sebuah kehendak, tapi kehendak yang terbaik adalah kehendak yang menuju kepastian.” Semoga ! *


Spesial Valentine, “Kepastian Cinta”.
Tulisan ini dimuat pada Rubrik Literasi Koran TEMPO Makassar, Sabtu, 14 Februari 2015.
*Semoga bermanfaat. :)

8 komentar:

  1. Karena cinta tak layak dengan sebuah pesta. Sperti kehidupan tak butuh banyak tanda menghadirkan kematian.karena kehendak yg terbaik adalah kehendak yg menuju kepastian. Ewako ekistun. Luar biasa sang Novelis. Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. ea ea ea. . . Ingat daun keringnya Bima kakakk. .. hahaha

      Hapus
  2. hehehe... selamat merayakan. :)
    Terima kasih telah berkunjung. . .

    BalasHapus
  3. Camgih Meman..! Supsess slalu kk'..

    BalasHapus